Jumat, 09 Maret 2012

strata sosial

Stratifikasi Sosial

Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat).
 Pengertian
Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin adalah perbedaan penduduk / masyarakat ke dalam lapisan-lapisan kelas secara bertingkat (hirarkis).
Pitirim A. Sorokin dalam karangannya yang berjudul “Social Stratification” mengatakan bahwa sistem lapisan dalam masyarakat itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur.
Stratifikasi sosial menurut Drs. Robert M.Z. Lawang adalah penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarkis menurut dimensi kekuasaan, privilese dan prestise.
 Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, pa tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
==== Ukuran kekuasaan dan wewenang ==== Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
 Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
 Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Diferensiasi sosial merupakan perbedaan seseorang dilihat dari suku bangsa, ras, agama, klan, dsb.
Pada intinya hal-hal yang terdapat dalam diferensiasi itu tidak terdapat tingkatan-tingkatan, namun yang membedakan satu individu dengan individu yang lainnya adalah sesuatu yang biasanya telah ia bawa sejak lahir. contohnya saja, suku sunda dan suku batak memiliki kelebihan masing-masing. jadi seseorang tidak bisa menganggap suku bangsanya lebih baik, karena itu akan menimbulkan etnosentrisme dalam masyarakat. diferensiasi merupakan perbedaan yang dapat kita lihat dan kita rasakan dalam masyarakat, bukan untuk menjadikan kita berbeda tingkat sosialnya seperti yang terjadi di Afrika Selatan.
CONTOH STRATIFIKASI SOSIAL  DI  DJOGJA
Sebelum, saat, dan beberapa saat setelah kemerdekaan, yang namanya mobil masih langka (mungkin baru satu jenis ya?). Karenanya, wajar kalau masyarakat kecil sampai tidak bisa membedakan mana mobil angkutan dan mana mobil Sultan. Saat mencari referensi sejarah Indonesia di Perpustakaan Universitas Negeri Yogyakarta, aku menemukan sekelumit cerita tentang Sultan yang memerintah zaman itu, Hamengku Buwono IX.
Pada suatu hari (kayak dongeng pengantar tidur aja), Sri Sultan sedang melakukan perjalanan, entah ke mana. Tiba-tiba beliau dicegat oleh seorang ibu tua, pedang di pasar tradisional (memang pasarnya masih tradisional semua). Sang Raja langsung berhenti, menyilakan "si pencegat" naik bersama barang-barangnya. Kemudian, bak sopir benaran, orang yang memegang tampuk kekuasaan sejak usia belasan tahun itu, mengantar penumpangnya.
Sampai di pasar, si penumpang turun dan berniat membayar ongkos. "Pak Sopir" menolak dengan halus dan melanjutkan perjalanan.
Sepeninggal Penguasa Keraton itu, si bakul (pedagang) dikerumuni teman-temannya. Dia ditanya apakah tahu tentang orang yang telah mengantarnya. Tentu saja mbok bakul tahu: sopir angkutan dan angkutan umumnya. Kemudian, teman-temannya memberi tahu, dan mbok bakul langsung pingsan.
Ada dua hal menggelitik dari peristiwa tersebut. Pertama, kesediaan Sri Sultan mengantar dan menjadi sopir untuk pedagang kecil. Ini menunjukkan jiwa kepemimpinan (bukan jiwa pemerintahan lho, kalau jiwa pemerintahan aku juga punya) sejati, pengabdian yang tak pandang bulu. Kedua, pingsannya si mbok bakul, menunjukkan penghormatan sejati. Dia beranggapan seorang raja tak pantas mengantar orang seperti dia, ada banyak urusan lebih penting yang menjadi tanggung jawabnya.
Coba, kalau ada orang abad ini diantar oleh presiden, yang ada pastilah si orang akan tertawa, berjingkrak, melompat, berteriak sampai ke langit biru: Aku di antar presiden! Sementara, presiden pun mana sempat melakukan hal itu. Ada banyak urusan penting yang sedang dan menanti untuk dikerjakan. Urusan apa dan siapa? Untuk apa dan siapa? Entahlah.
Cerita belum berakhir. Di lain waktu, orang nomor satu di keraton Jogjakarta itu terburu-buru masuk ke keraton. Karena itu, sepedanya langsung nyelonong masuk ke kompleks. Beliau mengenakan topi, para pengawal tak mengenalinya. Kemudian, apa yang terjadi? Sudah dapat ditebak, Sri Sultan dihentikan oleh pengawal. Dibilangin gak boleh naik sepeda masuk ke dalam keraton. Tahu itu rajanya, yang terjadi pun dapat ditebak, seperti kisah mbok bakul tadi.
HB IX adalah orang yang mengenal pendidikan Barat. Ternyata pendidikan ala Barat dan kekuasaan yang dipegang sejak usia belasan tahun, menjadikannya semakin "dewasa". Selain itu, beliau juga rendah hati, dialah raja pertama yang membolehkan anaknya (yang kemudian dikenal dengan HB X) main bola bersama anak kampung. Sementara kita? Jangankan jadi raja usia belasan tahun, baru kursus di luar negeri aja bangganya bukan main, sudah merasa berderajat lebih tinggi.
Itulah dia, figur yang dihormati semasa memerintah, ditangisi saat meninggal, dan dikenang oleh generasi setelahnya. Tentang kematian, berita meninggalnya HB IX diumumkan di Masjid-masjid. Tanpa diminta, masyarakat memasang bendera setengah tiang, tanpa diminta masyarakat berkerumun dijalan-jalan yang akan dilalui almarhum, tanpa dikomando air mata mengalir di semua pipi (dan hati), dan semua orang berharap bisa memikul keranda Sang Panutan. Bahkan, kabarnya, kuda-kuda yang ikut dalam rombongan tersebut pun menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar